JAKARTA, detikj — Gagasan Menteri Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman agar pelaku usaha kecil dapat ikut mengelola sektor tambang memunculkan dua pandangan. Bagi sebagian kalangan, ini langkah progresif yang memberi ruang bagi rakyat untuk masuk ke sektor strategis. Namun bagi yang lain, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan: apakah benar akan membuka peluang nyata, atau sekadar simbol kolaborasi yang berhenti di wacana?
Maman menegaskan, keterlibatan UMKM hanya dimungkinkan bagi mereka yang memiliki kelembagaan resmi dan bekerja sama dengan BUMN atau pemegang izin tambang. Pemerintah, katanya, ingin agar masyarakat sekitar tambang mendapat manfaat ekonomi langsung dari sumber daya alam di daerahnya.
Langkah ini menjadi sinyal baru bahwa pemerintah berupaya mendorong redistribusi kesempatan ekonomi. Tapi untuk menjawab pertanyaan besar di atas, kebijakan ini harus diikuti peta jalan yang jelas: agar niat baik tak berubah menjadi seremoni kolaborasi.
Direktur Eksekutif Gagas Nusantara, Romadhon Jasn, menilai gagasan tersebut merupakan bentuk keberanian politik yang patut diapresiasi. “Selama ini sektor tambang identik dengan korporasi besar. Ide untuk membuka ruang bagi UMKM menandakan upaya pemerintah menyeimbangkan kekuasaan ekonomi,” ujarnya, Jumat (17/10).
Namun, Romadhon mengingatkan bahwa kebijakan ini tidak bisa dijalankan sekadar dengan semangat. Sektor tambang memiliki risiko tinggi dan kebutuhan modal besar. “Kalau tidak diatur dengan cermat, UMKM hanya akan menjadi nama pelengkap dalam proyek besar. Pemerintah harus memastikan mereka benar-benar terlibat dan memperoleh manfaat nyata,” katanya.
Lanjut Romadhon, bentuk keterlibatan yang ideal bukan pada eksploitasi, melainkan di sektor pendukung seperti logistik, pengolahan limbah, atau penyediaan bahan penunjang. Dengan begitu, UMKM dapat berperan aktif tanpa menanggung risiko lingkungan dan finansial yang berlebihan.
Romadhon juga menekankan pentingnya pengawasan dan transparansi. Ia menilai, kebijakan yang berpihak pada rakyat harus diiringi tanggung jawab sosial dan keberlanjutan lingkungan. “Kemaslahatan tidak cukup diwujudkan lewat niat baik, tapi harus diatur dalam sistem yang melibatkan masyarakat secara utuh dan adil,” ujarnya.
Sejumlah pengamat melihat kebijakan ini sebagai langkah simbolis menuju ekonomi yang lebih inklusif. Namun, simbol akan menjadi nyata bila disertai mekanisme pembiayaan, pelatihan, dan kemitraan jangka panjang bagi UMKM di kawasan tambang. Tanpa itu, partisipasi rakyat hanya akan berakhir di tataran retorika.
“Menteri Maman sudah membuka pintu penting. Tugas berikutnya adalah memastikan pintu itu tidak hanya terbuka di atas kertas. UMKM harus hadir sebagai pelaku ekonomi sejati, bukan sekadar pelengkap dalam narasi pembangunan,” pungkas Romadhon.