Detikdjakarta, Jakarta, 15 Oktober 2025 — Pemerintah mengakui bahwa meski angka pertumbuhan ekonomi nasional masih terjaga di atas 5%, tekanan terhadap masyarakat, terutama kelas menengah dan sektor informal, masih terasa kuat. Hal ini disampaikan dalam diskusi ekonomi bertajuk “Potensi Krisis, Tantangan, dan Peluang” yang digelar di kawasan Woltermongonsidi, Jakarta, Rabu (15/10).
Tenaga Ahli Utama Badan Komunikasi Pemerintah, Fitra Faisal Hastiadi, menyebut bahwa capaian pertumbuhan kuartal II sebesar 5,12% memang di atas rata-rata sepuluh tahun terakhir, namun belum sepenuhnya mencerminkan kesejahteraan riil masyarakat.
“Kalau dilihat dari angka makro, pertumbuhan kita cukup baik. Tapi masyarakat masih berada dalam tekanan. Kelas menengah turun dari 57,9 juta orang pada 2020 menjadi 47,3 juta orang,” ujar Fitra.
Menurutnya, meski tingkat pengangguran terbuka tercatat 4,76% dan menjadi yang terendah dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar tenaga kerja justru masuk ke sektor informal.
“Mereka bekerja bukan karena pilihan, tapi karena terpaksa. Ada istilahnya, orang tidak mampu menganggur,” jelasnya. “Sektor informal sekarang mencapai 60%, sektor formal hanya 40%. Artinya, banyak yang kehilangan pekerjaan layak.” ujar Fitra.
Fitra menambahkan bahwa untuk memperbaiki kondisi tersebut, pemerintah berfokus pada industrialisasi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM). Ia menyoroti pentingnya absorptive capacity , kemampuan tenaga kerja lokal menyerap dan memanfaatkan investasi yang masuk.
“Investasi itu percuma kalau SDM-nya tidak siap. Ini seperti yang dikatakan Amartya Sen, pembangunan itu adalah kebebasan. Kita perlu memperkuat kemampuan masyarakat agar bisa naik kelas,” tuturnya.
Pemerintah, kata dia, juga mulai memperluas program pendidikan inklusif melalui sekolah rakyat. Hingga tahun ini, tercatat 165 sekolah rakyat telah berdiri untuk menjangkau anak-anak dari keluarga miskin.
“Saya pernah datang ke salah satu sekolah rakyat. Murid-muridnya dari keluarga paling miskin, tapi semangatnya luar biasa. Bahkan kantinnya mempekerjakan penyandang disabilitas. Ini bentuk pembangunan yang manusiawi,” ujarnya.
Sementara itu, sejumlah pengamat ekonomi yang hadir menilai bahwa meski pemerintah berupaya menjaga pertumbuhan, risiko ketimpangan sosial dan tekanan fiskal tetap mengintai.
Elisa Mardian dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, menyoroti perlunya desentralisasi ekonomi agar kebijakan tidak hanya bertumpu pada pusat.
“Model ekonomi yang sentralistis cenderung menumpuk anggaran di pusat. Padahal di daerah, potensi ekonomi lokal seperti dapur komunitas dan koperasi bisa menjadi penggerak nyata,” katanya.
Ia mencontohkan inisiatif dapur koperasi di daerah seperti Kulon Progo dan Kebumen yang mampu memproduksi hingga 400 porsi makanan per hari dan menyerap hasil pertanian lokal tanpa perlu investasi besar.
“Kalau model seperti ini diperbanyak, dampaknya luar biasa. Ekonomi tumbuh dari bawah, masyarakat berdaya, dan pemerintah tidak perlu membangun semuanya dari nol,” ujar Elisa.
Diskusi tersebut juga menyoroti tantangan struktural lain, seperti rendahnya pendapatan pajak, kenaikan rasio utang, serta risiko kemiskinan baru akibat stagnasi daya beli.
Para ekonom sepakat bahwa periode 2025–2038 akan menjadi “jendela kesempatan terakhir” bagi Indonesia sebelum memasuki era populasi menua (aging population).
“Bonus demografi kita akan berakhir pada 2038. Kalau dalam 10 tahun ini kita tidak mampu memperkuat produktivitas dan inovasi, maka kita akan tua sebelum kaya,” tutup Fitra Faisal.


















