JAKARTA,— Polemik subsidi energi dan keterlibatan swasta dalam impor BBM kembali mencuat, seiring arahan pemerintah untuk mempercepat penataan sektor energi. Kementerian ESDM mendorong SPBU swasta mengajukan kuota impor 2026, sementara Kementerian Keuangan memastikan percepatan pembayaran subsidi dan kompensasi agar tidak mengganggu arus kas BUMN energi. Publik kini menuntut kepastian: bagaimana pengawasan dilakukan dan proteksi sosial disiapkan?
Beban subsidi memang nyata. Data Kemenkeu mencatat, hingga Agustus 2025 realisasi subsidi dan kompensasi energi mencapai Rp218 triliun, setara 43,7 persen dari pagu tahun ini. Angka itu menjadi alarm fiskal: subsidi diperlukan untuk menjaga daya beli rakyat, tapi juga berpotensi menggerus ruang belanja negara untuk program sosial lain.
Percepatan pembayaran subsidi yang diputuskan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa adalah langkah strategis dan layak diapresiasi. Dengan percepatan, arus kas Pertamina dan PLN tetap terjaga, sehingga distribusi BBM, LPG, dan listrik tidak terganggu. Publik menilai langkah ini juga mengurangi risiko penumpukan beban fiskal di akhir tahun.
“Realisasi subsidi energi mencapai Rp218 triliun hingga Agustus, dan pemerintah memastikan percepatan pembayaran agar tidak ada keterlambatan. Ini untuk menjaga arus kas BUMN energi dan memastikan pasokan tetap terjamin,” ujar Menkeu Purbaya dalam keterangan resmi.
Di sisi lain, Kementerian ESDM membuka peluang multiprovider lewat skema B2B impor BBM. Swasta diminta menyiapkan kuota untuk 2026 agar pasokan nasional lebih stabil dan tidak sepenuhnya bertumpu pada Pertamina. Namun, pertanyaan publik muncul: apakah swasta juga bersedia melayani daerah terpencil, atau hanya mengejar pasar gemuk di kota-kota besar?
Keterlibatan swasta memang bisa memperkuat ketahanan energi, tetapi regulasinya harus jelas. Tanpa pedoman alokasi kuota, transparansi harga, dan pengawasan, justru bisa muncul distorsi baru yang merugikan rakyat kecil. Di titik ini, keterbukaan data menjadi syarat mutlak.
“Keadilan energi harus menjadi kriteria utama. Kritik kami bukan untuk menolak swasta, melainkan menuntut aturan yang melindungi publik. Transparansi dan audit wajib hadir agar kebijakan tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu,” ujar Direktur Gagas Nusantara, Romadhon Jasn, Rabu (1/10/2025).
Selain proteksi sosial bagi kelompok rentan, tata kelola harus diperkuat melalui audit reguler. BPK dan Kemenkeu perlu melakukan pemeriksaan berkala atas realisasi subsidi, pembayaran kompensasi, serta kepatuhan swasta terhadap kuota impor. Tanpa itu, publik tak punya jaminan bahwa kebijakan benar-benar tepat sasaran.
Pertamina juga patut diapresiasi. Di tengah tekanan fiskal, perusahaan tetap menjaga distribusi hingga pelosok dan mengembangkan program dekarbonisasi. Namun, ke depan Pertamina harus lebih agresif dalam pembangunan kilang domestik. Laporan Menkeu di DPR menegaskan, percepatan proyek kilang adalah solusi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan impor.
Kesimpulannya jelas: percepatan subsidi adalah langkah baik, keterlibatan swasta bisa menambah pasokan, dan Pertamina tetap tulang punggung energi nasional. Namun semua itu hanya berarti bila disertai audit berkala, keterbukaan data, dan proteksi sosial. Publik menunggu bukan sekadar janji, melainkan tata kelola yang benar-benar menghadirkan jalan kedaulatan energi.