Publik Indonesia kembali dihadapkan pada paradoks lama: subsidi energi di satu sisi adalah wujud keberpihakan negara kepada rakyat kecil, tetapi di sisi lain menekan fiskal hingga mengancam ruang belanja pembangunan. Beban subsidi energi yang besar yang kenyataannya mencapai ratusan triliun rupiah per tahun memaksa pemerintah melakukan penataan agar anggaran tetap memadai untuk pendidikan, kesehatan, dan program kesejahteraan lainnya. Di sinilah persoalan mendasar muncul: bagaimana menjaga keberpihakan tanpa membiarkan ketergantungan merongrong kesejahteraan jangka panjang?
Fenomena sosial yang nyata adalah bahwa perdebatan publik kerap tergelincir dari substansi ke personal. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, yang datang dari latar rakyat biasa dan dikenal berbahasa lugas, kerap menjadi sasaran ejekan personal bukan kritik kebijakan. Fokus pada tampilan, asal-usul, atau dialek hanya memperlemah ruang publik; padahal yang harus diuji adalah efektivitas kebijakan dan dampaknya bagi rakyat kecil.
Bahlil bukan produk “elit akademis”; ia meniti karier dari pengalaman lapangan. Bagi sebagian orang itu mengganggu ego kelas sosial, tetapi bagi negara hal itu juga menunjukkan mobilitas sosial dan pluralitas kepemimpinan. Tantangan kita bukan mencari kambing hitam pribadi, melainkan menilai kebijakan berdasarkan data, bukti, dan tujuan publik: apakah kebijakan itu memperkuat kedaulatan energi dan melindungi kelompok rentan?
Contoh konkret adalah kebijakan pendataan distribusi LPG 3 kg. Indonesia masih sangat bergantung pada impor LPG proporsi impor yang besar membuat subsidi tidak lagi sekadar bantuan sosial, tetapi juga risiko fiskal. Pendataan dan penataan subsidi dimaksudkan agar bantuan tepat sasaran: subsidi dinikmati mereka yang benar-benar membutuhkan, bukan bocor ke pengguna komersial. Inti perdebatan seharusnya tentang mekanisme teknis: registrasi penerima, verifikasi data, dan skema kompensasi sosial.
Masalah tidak selalu pada niat kebijakan, melainkan pada komunikasi dan eksekusi. Gaya Bahlil yang ceplas-ceplos mencerminkan bahasa rakyat, namun di ranah kebijakan yang penuh nuansa teknis, penyampaian yang kurang runtut mudah menimbulkan kecemasan publik. Ketika mitigasi, kompensasi, dan tahapan implementasi tidak dijelaskan dengan gamblang, publik cenderung mengisi kekosongan informasi dengan asumsi terburuk.
Karena itu kritik produktif mesti fokus pada substansi. Untuk LPG: bagaimana sistem pendataan dijalankan agar tidak menyulitkan warga miskin? Bagaimana mekanisme verifikasi dan solusi bagi keluarga tidak mampu yang kehilangan akses sementara? Untuk listrik dan BBM: bagaimana RUPTL, mekanisme IPP, dan skema multiprovider dirancang agar tarif tetap adil dan beban fiskal terkendali? Pertanyaan-pertanyaan teknis inilah yang membutuhkan jawaban konkret, bukan sekadar retorika.
Pada waktu yang sama, kebijakan impor BBM melalui skema B2B dan pelibatan SPBU swasta kini memasuki tahap implementasi; beberapa SPBU dilaporkan mulai menyiapkan kuota untuk tahun depan. Jika dijalankan dengan aturan yang transparan kuota diumumkan, alokasi diawasi, dan mekanisme anti-kolusi ditegakkan skema ini bisa memperkuat kepastian pasokan. Namun tanpa perangkat regulasi yang matang, pembukaan akses bisa memunculkan oligopoli baru yang merugikan konsumen.
Perlu diingat pula bahwa seluruh arah kebijakan ini berada dalam kerangka besar pemerintahan. Presiden Prabowo menegaskan kedaulatan energi sebagai prioritas: hilirisasi, penguatan industri dalam negeri, dan upaya menurunkan ketergantungan impor. Maka kebijakan ESDM bukan wacana sektoral; ia harus dipahami sebagai bagian dari visi nasional yang menuntut konsistensi, sinkronisasi, dan akuntabilitas.
Isu tata kelola juga mendesak. Laporan pengawasan menunjuk adanya temuan signifikan pada beberapa instansi dan BUMN energi ini mengingatkan kita bahwa ambisi kebijakan harus dibarengi pengawasan kuat. Penguatan Satuan Pengawas Intern, komite audit, dan keterbukaan pelaporan menjadi prasyarat agar kebijakan tidak melahirkan kebocoran anggaran atau konflik kepentingan.
Koordinasi antar kementerian dan lembaga harus ditingkatkan. Jika Kemenhub, Kemenko Marves, ESDM, dan Kementerian BUMN memberi sinyal berbeda soal isu strategis LPG, BBM, atau avtur, publik akan bingung dan spekulasi merajalela. Pemerintah perlu satu narasi resmi, lengkap dengan roadmap teknis dan indikator evaluasi, agar implementasi berjalan terukur.
Publik juga memiliki tanggung jawab: menuntut data, meminta audit dan evaluasi independen, serta menyampaikan kritik berbasis bukti. Kritik emosional atau serangan personal hanya mengaburkan fokus pada perbaikan. Demokrasi sehat dibangun dari debat rasional yang memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan dari ejekan yang memecah.
Akhirnya, yang dibutuhkan adalah keseimbangan jalan tengah antara keberpihakan dan keberlanjutan fiskal. Jika kebijakan terbukti pro-rakyat dan dikelola transparan, dukungan publik harus mengalir. Jika terdapat kekurangan dalam eksekusi, kritik yang konstruktif harus diarahkan agar perbaikan nyata bisa dilakukan. Dengan demikian energi yang murah, adil, dan berkelanjutan bukan sekadar slogan, melainkan tujuan bersama yang bisa dicapai lewat kebijakan yang jelas, komunikasi yang meyakinkan, dan pengawasan yang ketat.
“Penulis : Romadhon Jasn, Aktivis Nusantara.