JAKARTA, — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi salah satu prioritas Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menuai perhatian publik. Sejumlah kasus keracunan di daerah memunculkan pertanyaan mengenai standar keamanan pangan serta tata kelola program yang dirancang untuk meningkatkan gizi anak-anak sekolah.
Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat hingga 22 September 2025 terdapat 8.583 Sentra Penyediaan Pangan Gizi (SPPG) beroperasi di seluruh Indonesia. Namun, hanya 34 di antaranya yang memiliki Sertifikat Layak Higiene Sanitasi (SLHS) dari Kementerian Kesehatan. Sisanya, 8.549 SPPG belum bersertifikat. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran lemahnya pengawasan dan kesiapan di tingkat pelaksana.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad meminta evaluasi menyeluruh. Ia menegaskan aparat penegak hukum harus turun langsung menelusuri penyebab kasus, apakah murni kelalaian atau ada unsur kesengajaan. “Kita harus memastikan anak-anak mendapat makanan sehat, bukan justru terancam kesehatannya,” kata Dasco.
Romadhon Jasn dari Gagas Nusantara menekankan pentingnya melihat kritik sebagai dorongan memperkuat program. “Evaluasi itu keharusan, tetapi masyarakat juga perlu yakin bahwa MBG adalah program mulia yang harus terus berjalan demi generasi Indonesia,” ujarnya kepada awak media, Jumat (26/9)
BGN menyebut sudah mendistribusikan 1 miliar porsi MBG di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, sekitar 4.700 porsi dilaporkan menimbulkan gangguan kesehatan, mulai dari mual hingga keracunan lebih serius. Kepala BGN mengakui ada kelemahan, terutama pada SPPG baru yang belum berpengalaman, dan berjanji memperketat standar agar kejadian serupa tidak berulang.
Program MBG pada dasarnya ditujukan untuk menurunkan angka stunting dan memperbaiki kualitas gizi anak-anak. Namun, pengamat menilai ekspansi cepat tanpa kesiapan dapur dan sumber daya bisa kontraproduktif. Mereka menyarankan jeda terbatas agar dapur baru dapat diaudit dan dilatih lebih dulu sebelum melayani dalam skala besar.
BGN menolak wacana penghentian total. Mereka menegaskan program tetap berjalan sesuai amanah presiden, meski beberapa dapur dihentikan sementara untuk evaluasi. “Evaluasi bukan berarti melemahkan, melainkan memperkuat. MBG harus dijalankan konsisten karena ini investasi bangsa,” kata Romadhon Jasn.
Sorotan publik juga muncul terkait menu. Di Kalimantan Barat, misalnya, menu berbahan ikan hiu dipersoalkan karena dikhawatirkan mengandung merkuri. Polemik ini menambah daftar persoalan teknis yang bisa berpengaruh pada citra program. “Kritik soal menu harus dijadikan masukan, tapi jangan sampai mengurangi keyakinan publik bahwa MBG tetap program mulia,” ucap Romadhon Jasn.
Pengawasan dari pusat dinilai belum cukup. Orang tua, komite sekolah, dan organisasi masyarakat sipil perlu dilibatkan untuk memastikan kontrol sosial berjalan seiring dengan pengawasan resmi pemerintah. “Dengan partisipasi luas, kepercayaan masyarakat terjaga dan MBG bisa semakin kuat,” tutur Romadhon.
Meski menuai kritik, banyak kalangan tetap menilai MBG sebagai kebijakan penting. Tujuannya memberi akses makanan sehat bagi anak-anak sekolah sekaligus menyiapkan generasi unggul Indonesia. “Masyarakat harus yakin bahwa dengan evaluasi, transparansi, dan perbaikan sistem, MBG akan menjadi gerakan kolektif negara dan rakyat demi Indonesia yang lebih sehat,” pungkas Romadhon Jasn.