JAKARTA,- Di abad ini, data menjadi sumber daya yang lebih berharga daripada minyak. Negara yang menguasai data akan mengendalikan arah peradaban. Indonesia menyadari hal itu, dan menempatkan Telkom bukan lagi sekadar perusahaan telekomunikasi, melainkan sebagai pilar kedaulatan digital. Peran ini jauh lebih besar daripada sekadar memasang kabel atau membangun tower; ia adalah urusan menjaga logika bangsa di ruang digital.
Transformasi Telkom dalam beberapa tahun terakhir menandai perubahan fundamental. Pemisahan bisnis IndiHome ke Telkomsel hanyalah langkah teknis. Yang lebih substansial adalah pergeseran identitas: dari operator jaringan menjadi arsitek ekosistem digital. Telkom kini berdiri di garis depan perebutan ruang digital, menghadapi raksasa global seperti Google, Microsoft, dan Amazon.
Dalam konteks itu, Telkom tidak boleh hanya menghitung jumlah pelanggan. Ia harus berbicara dengan logika baru: kecepatan data, kedaulatan server, keamanan informasi, dan kapasitas artificial intelligence mengolah pengetahuan bangsa. Soal ini bukan lagi sekadar bisnis, melainkan politik identitas di ruang digital.
“Telkom tidak bisa dipandang hanya sebagai penyedia internet. Penunjukan Telkom dalam ekosistem digital harus dimaknai sebagai langkah negara menjaga kedaulatan. Ia adalah wakil bangsa di arena digital, bukan sekadar operator bisnis,” ujar Romadhon Jasn, Direktur Gagas Nusantara, dalam rilis resminya, Kamis (25/9/2025).
Tugas itu membawa paradoks. Di satu sisi, Telkom dituntut kompetitif melawan modal global yang nyaris tak terbatas. Di sisi lain, ia memikul misi sosial: memastikan desa-desa terpencil terhubung dengan internet. Di sinilah keunikan Telkom sebagai BUMN: ia harus menyeimbangkan logika pasar dengan tanggung jawab kebangsaan.
Kabel laut internasional yang dibangun Telkom, misalnya, bukan sekadar jalur komunikasi. Itu adalah jalur kedaulatan. Data center yang mereka dirikan bukan sekadar gudang server, melainkan tembok digital yang menjaga identitas bangsa. Dengan cara pandang ini, publik seharusnya tidak menilai Telkom hanya dari tarif bulanan, tetapi dari ide besar yang sedang ia jalankan.
“Telkom kini berdiri sebagai pagar digital Indonesia. Ia menjaga agar data kita tidak bocor, tidak digadaikan, dan tidak dijadikan komoditas asing. Ini bukan sekadar bisnis, ini adalah soal kedaulatan,” kata Romadhon Jasn.
Di sisi lain, Telkom juga dituntut menjadi lokomotif transformasi digital untuk UMKM, desa, dan masyarakat luas. Program literasi digital dan pemberdayaan ekonomi melalui platform Telkom adalah bagian dari diplomasi domestik: memastikan seluruh rakyat ikut menikmati hasil revolusi digital.
“Telkom bukan hanya pemain infrastruktur, tetapi juga penggerak transformasi sosial. Ekspor data center atau kabel laut mungkin mendunia, tetapi desa digital adalah bukti Telkom menjaga akar bangsa,” tegas Romadhon.
Ke depan, kita perlu membaca Telkom sebagai ide, bukan sekadar entitas korporasi. “Telkom adalah metafora tentang bagaimana bangsa ini ingin dibaca: sebagai pasar atau sebagai pemain. Ketika ia mengawal kedaulatan digital, sesungguhnya Telkom sedang memastikan Indonesia tidak hanya hadir di ruang maya, tetapi hadir sebagai bangsa yang merdeka,” tutup Romadhon Jasn.