Memasuki usia ke-79 pada 1 Juli 2025, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) berada dalam fase penting sejarah reformasinya. Selama hampir delapan dekade, Polri telah menjadi garda terdepan dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, seiring dengan tuntutan zaman, Polri kini tidak hanya diminta untuk hadir sebagai aparat penegak hukum, melainkan juga sebagai institusi yang transparan, humanis, dan adaptif terhadap dinamika demokrasi.
Perubahan ini bukan tanpa alasan. Dalam era keterbukaan informasi, publik semakin kritis menilai kinerja institusi negara, termasuk Polri. Survei Indikator Politik Indonesia per Mei 2025 menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap Polri mencapai 70,3%, sebuah pencapaian yang signifikan dibanding dekade sebelumnya. Keberhasilan Polri dalam menjaga stabilitas menjelang Pemilu 2024 dan pengamanan agenda nasional menjadi indikator penting bahwa institusi ini sedang bergerak ke arah yang benar. Namun tantangan baru terus berdatangan: digitalisasi kejahatan, kriminalitas lintas negara, hingga tuntutan pelayanan publik yang lebih responsif.
Upaya transformasi Polri melalui konsep Presisi—Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi berkeadilan—harus dibaca sebagai komitmen jangka panjang, bukan sekadar slogan instan. Program-program seperti integrasi sistem pengaduan digital, layanan kepolisian berbasis aplikasi, hingga kemitraan aktif dengan masyarakat sipil patut diapresiasi. Namun keberhasilan itu menuntut konsistensi, terutama dalam hal internal: pengawasan, rekruitmen yang meritokratis, dan disiplin etika aparat.
Publik berharap, di usia ke-79, Polri tak hanya mampu melayani dengan cepat, tetapi juga memperlakukan warga secara adil tanpa diskriminasi. Tantangan dalam kasus-kasus penanganan kekerasan, konflik agraria, dan sengketa digital menunjukkan bahwa wajah Polri masih perlu disempurnakan, bukan dalam kerangka represif, melainkan dalam membangun dialog yang setara dengan masyarakat. Pelayanan publik yang proaktif, berbasis data, dan ramah kelompok rentan menjadi syarat utama reformasi yang berkelanjutan.
Selain itu, relasi Polri dengan lembaga penegak hukum lain seperti Kejaksaan dan KPK juga menjadi perhatian. Perdebatan soal dominus litis, penyidikan terpadu, hingga transparansi dalam proses hukum menunjukkan perlunya koordinasi antarlembaga yang lebih sehat. Di sini, Polri harus tampil sebagai institusi yang tidak hanya kuat secara struktural, tetapi juga terbuka terhadap evaluasi publik. Peran Ombudsman, LPSK, dan Kompolnas harus diperkuat, bukan dilihat sebagai ancaman, agar mekanisme check and balance bisa berjalan optimal.
Dalam bidang keamanan digital, Polri dituntut mempercepat kapasitas personelnya menghadapi kejahatan siber yang makin kompleks. Literasi digital di kalangan aparat, kerjasama dengan BSSN dan komunitas teknologi, serta keterlibatan aktif dalam regulasi ruang digital menjadi langkah strategis agar Polri tetap relevan di era 5.0. Tak cukup hanya membubarkan sindikat penipuan daring, tetapi juga memastikan edukasi publik berjalan dan perlindungan data pribadi terjaga.
Bukan hanya eksternal, wajah humanis Polri juga ditentukan dari dalam. Kesejahteraan personel, distribusi penempatan yang adil, hingga perlindungan bagi anggota yang melaporkan pelanggaran harus menjadi bagian dari arsitektur reformasi. Jangan sampai semangat Presisi hanya berhenti di puncak, sementara di level bawah masih berlangsung kultur lama yang sulit berubah. Reformasi institusional harus menyentuh seluruh lini, dari Mabes hingga Polsek.
Momentum Hari Bhayangkara ke-79 menjadi titik refleksi untuk melihat kembali ke belakang sekaligus menatap ke depan. Warisan integritas dari sosok seperti Jenderal Hoegeng menjadi pengingat bahwa keberanian moral dan keteladanan adalah aset utama Polri dalam membangun kepercayaan publik. Kini, saatnya keberanian itu dimaknai dalam tindakan nyata: mempercepat reformasi, membenahi prosedur, dan melibatkan rakyat dalam pengambilan kebijakan.
Ke depan, tantangan Polri tak akan makin ringan: dari potensi konflik sosial pasca pemilu, ancaman polarisasi digital, hingga penegakan hukum yang adil di tengah tekanan oligarki. Namun jika Polri tetap berpihak pada rakyat, mendengarkan kritik sebagai bagian dari pertumbuhan, dan menjaga integritas di atas loyalitas sempit, maka masa depan Polri akan sejalan dengan harapan bangsa: menjadi pelindung, pengayom, dan sahabat rakyat yang sejati.
Tepat di usia ke-79, Polri diberi mandat sejarah untuk tidak sekadar mempertahankan eksistensi kelembagaan, tetapi membuktikan bahwa reformasi bukan sekadar agenda birokrasi, melainkan komitmen moral terhadap masa depan Indonesia yang lebih adil dan aman.
Penulis : Romadhon Jasn, Jaringan Aktivis Nusantara