Jakarta, detikj,-Kejadian seorang anggota Polisi Lalu Lintas (Polantas) yang memberikan hormat kepada mobil dinas masuk jalur Transjakarta sempat memicu kontroversi di media sosial. Rekaman singkat di berbagai platform memperlihatkan gestur sopan sebagai bentuk penghormatan terhadap fungsi negara, namun kemudian ramai diperdebatkan oleh netizen yang menilai petugas lalai menegakkan aturan lalu lintas secara konsekuen.
Polda Metro Jaya dengan segera menanggapi sorotan tersebut. Direktur Lalu Lintas (Dirlantas) Polda Metro Jaya, Kombes Pol Komarudin, menyatakan bahwa petugas tidak terprovokasi oleh hinaan daring dan tetap menjalankan prosedur penindakan atas pelanggaran. “Beri hormat adalah refleksi penghormatan institusi, namun penegakan aturan tetap berjalan sesuai ketentuan,” ujarnya. Pernyataan ini direspons positif oleh banyak pihak sebagai bukti stabilitas intelektual kepolisian.
Jaringan Aktivis Nusantara (JAN) menyambut baik penjelasan Polda Metro Jaya. Ketua JAN, Romadhon Jasn, menilai reaksi Kombes Komarudin sudah tepat dan masyarakat apresiasi. “Polisi tidak boleh terombang-ambing oleh gelombang opini yang seringkali dangkal. Gestur hormat bukanlah tindakan melawan hukum, tetapi pelanggaran tetap dikenakan sanksi agar aturan berlaku adil untuk semua,” kata Romadhon, kepada awak media, Sabtu (7/6/2025)
Dalam konteks penegakan hukum, setiap pelanggaran lalu lintas—termasuk masuk jalur Transjakarta—harus diproses. Polri, menurut Romadhon, sudah menjalankan prosedur dengan profesional: petugas menegur, merekam, dan menerbitkan surat tilang sekaligus memberi teguran lisan. “Ini menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap aturan tidak mengenal hierarki, sekaligus memelihara budaya penghormatan institusi,” ujarnya.
Tradisi memberikan hormat di jalan raya memiliki akar historis sebagai simbol penghormatan terhadap negara dan aparat. JAN menekankan pentingnya merawat adab profesional di lingkungan kepolisian. Ketika petugas memberi hormat, masyarakat belajar bahwa negara juga menghormati kewajibannya. Namun tidak berarti kebijakan lalu lintas dibengkokkan demi simbol, melainkan dijalankan dengan prinsip yang konsisten.
Publik menanggapi penjelasan Polda Metro Jaya dengan rasa lega. Sejumlah pengguna media sosial menyampaikan apresiasi atas transparansi dan ketegasan petugas. Mereka menganggap bahwa kombinasinya, penghormatan institusi plus penindakan pelanggaran adalah bentuk keseimbangan yang tepat. “Ini cara modern yang mengedepankan etika dan aturan bersama,” tulis salah satu warganet.
JAN menghimbau masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh judul-judul sensasional. Kritik terhadap tindakan aparat harus berbasis data dan prosedur. “Hendaknya kita bertanya: apakah unsur penghormatan itu menghalangi penegakan hukum? Jawabannya ada pada fakta bahwa penegakan tilang tetap dilakukan. Sikap petugas pantas dihargai sekaligus ditelaah dengan kepala dingin,” ujar Romadhon.
Kasus ini juga menyiratkan pelajaran bagi Polri: pentingnya komunikasi publik yang proaktif. Ke depan, JAN mendorong Polri untuk menerbitkan pedoman singkat tentang tata cara penghormatan di jalan raya, sekaligus menegaskan mekanisme penindakan yang tidak memandang status. Dengan demikian, setiap pihak memahami batas antara etika dan aturan.
Profesionalisme yang ditunjukkan Polantas dalam menegakkan hukum sambil menghadirkan etika penghormatan perlu dijaga dan dikembangkan. JAN mendorong pelatihan berkala tentang public engagement dan traffic ethics, agar anggota Polri semakin terampil mengelola situasi ambiguitas di lapangan—antara memberi contoh kesopanan dan menegakkan tata tertib.
Pada akhirnya, kepercayaan publik terhadap kepolisian dibangun dari keseimbangan antara ketegasan aturan dan kebijaksanaan manusiawi. Polri Presisi menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat sekaligus penegak hukum tanpa kompromi. JAN menyatakan siap mendukung inisiatif peningkatan kapasitas Polri, sehingga setiap gestur hormat di jalan raya menjadi simbol integritas yang berkelanjutan.