Heboh Kolegium
Djohansjah Marzoeki – 23 Mei 2025, Gedung Baru Fakultas Kedokteran Unair
Kolegium adalah lembaga pengampu ilmu kedokteran. Ilmu kedokteran itu sendiri merupakan bagian dari ilmu pasti alam—bukan ilmu sosial, bukan pula ilmu budaya. Oleh karena itu, ilmu ini hanya tunduk pada kaidah ilmiahnya sendiri, yaitu:
1. Harus rasional
2. Harus benar
3. Harus otonom dan independen
4. Tidak boleh ada konflik kepentingan
Ilmu kedokteran tidak perlu, dan memang tidak seharusnya, tunduk pada kekuasaan negara, ideologi seperti Pancasila, kepentingan ekonomi, kepercayaan, atau budaya.
Ciri khas dari ilmu kedokteran yang saya sebutkan di atas adalah bagian dari kaidah ilmiah yang diakui secara universal. Ilmu kedokteran tidak mengenal batas negara atau yurisdiksi hukum tertentu.
Ilmu kedokteran di Indonesia pun harus selaras dengan prinsip ini agar negara kita bisa berperan dalam menciptakan ketertiban dunia dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan oleh UUD.
Yang memahami ilmu kedokteran dan kaidah-kaidahnya hanyalah para pakar di bidang tersebut. Dokter yang bukan pakar pun belum tentu memahami, apalagi pemerintah atau tokoh politik. Inilah akar dari kehebohan seputar dunia kedokteran di Indonesia, terutama setelah lahirnya UU No. 17 Tahun 2023 yang dibuat tanpa transparansi dan tidak melibatkan lembaga ilmiah.
UU tersebut menghapus keberadaan kolegium lama tanpa alasan rasional dan membentuk kolegium baru, yang kemudian memicu protes dari berbagai pihak—termasuk dari universitas, Mahkamah Konstitusi, dan PTUN. Mereka semua menuntut agar kolegium dikembalikan sebagai lembaga ilmiah yang otonom dan independen.
Setiap narasi yang mencoba memasukkan pandangan filosofis, sosial, budaya, atau hukum dalam membahas kolegium menunjukkan ketidakpahaman terhadap apa itu ilmu pasti alam dan kaidah yang semestinya digunakan.
Salah satu kaidah ilmiah adalah bahwa ilmu harus benar. Dalam kaidah ini, hanya yang benar yang dipakai, sedangkan yang salah dibuang. Tidak ada kompromi. Kebenaran ilmiah tidak bisa dinegosiasikan. Tidak ada win-win solution* dalam ilmu pasti. *Ilmu pasti tidak bisa dinegosiasikan.
Contohnya: 10 + 5 = 15. Hanya itu, tidak bisa jadi 14 atau 16 demi kompromi.
Oleh sebab itu, ilmu kedokteran hanya bisa diajarkan dan dikelola oleh para pakarnya. Bila diserahkan pada yang bukan pakar, ilmu ini bisa disalahartikan dan disalahgunakan, menyimpang dari nilai akademik, merusak kebenaran ilmiah, dan membahayakan masyarakat.
Perlu dibedakan antara ilmu kedokteran dengan pelayanan kesehatan atau profesi kedokteran. Ilmu kedokteran yang sah dan benar digunakan untuk menolong pasien dalam praktik. Dalam praktik, setiap dokter harus tunduk pada sumpah dokter dan etika profesi, agar ilmu kedokteran tidak digunakan secara sewenang-wenang.
Etika profesi digunakan dalam konteks praktik, bukan dalam mengatur ilmu itu sendiri atau proses penelitian ilmiah. Karena etika bertujuan melindungi penggunaan ilmu kedokteran, maka pengawas etika harus memahami kaidah ilmiah tersebut. Jika tidak, bagaimana mungkin ia bisa mengawasi dengan benar?
Dalam praktik, dokter juga wajib tunduk pada undang-undang dan kearifan lokal.
Jika seorang dokter melanggar etika, maka itu urusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Jika melanggar disiplin, menjadi urusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Jika melanggar hukum, itu menjadi ranah pengadilan. Semua sudah memiliki tempat dan mekanismenya masing-masing.
Namun, UU 17/2023 Pasal 421 menyatakan bahwa pengawasan etika dan disiplin menjadi kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Ini sangat tidak tepat. Pemerintah bukan ahli dalam ilmu kedokteran, jadi tidak semestinya mengawasinya. Pemerintah seharusnya menyadari bahwa ilmu kedokteran bukanlah ranah kekuasaan atau politik, melainkan ranah lembaga ilmiah dan profesi.
Yang dibutuhkan dari pemerintah saat ini adalah menghargai dan menjalin kemitraan dengan lembaga ilmiah dan profesi dalam merumuskan kebijakan publik. Bukan mengabaikan atau malah berseteru dengannya. Biarkan lembaga ilmiah mengatur dirinya sendiri berdasarkan kaidah ilmiahnya, dan berinteraksi secara bebas dengan komunitas ilmiah dunia. Biarkan ia tetap independen, tanpa intervensi kekuasaan.
Inilah yang dirusak oleh UU No. 17/2023 melalui Pasal 1, Pasal 272, dan Pasal 451—produk pemerintahan sebelumnya yang masih diteruskan hingga saat ini. Karena itulah para guru besar FK se-Indonesia menyatakan penolakannya terhadap intervensi pemerintah dalam urusan kolegium. Mereka menyatakan keprihatinan dan mendukung penuh perjuangan kami terkait kolegium, yang kini sedang bergulir di Mahkamah Konstitusi dan PTUN.