JAKARTA (detik) — Menteri Pemberdayaan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding menyatakan bahwa berbagai negara di dunia membutuhkan lebih dari 1,7 juta tenaga kerja Indonesia, mencerminkan peluang besar bagi pekerja migran asal Indonesia. Menurut Karding, angka ini mencakup kebutuhan dari negara-negara berkembang dan maju, di sektor-sektor seperti konstruksi, layanan kesehatan, serta teknologi informasi.
Namun, dalam diskusi mengenai pentingnya mencetak lebih banyak pekerja migran untuk memenuhi kebutuhan global, Gagas Nusantara mendukung inisiatif tersebut sembari mengingatkan pentingnya persiapan matang bagi tenaga kerja Indonesia yang akan dikirim ke luar negeri. “Potensi besar ini adalah kesempatan strategis, tetapi pengelolaan migrasi tenaga kerja harus lebih terstruktur dan terstandarisasi,” ujar Romadhon Jasn, Direktur Gagas Nusantara, Sabtu (3/5)
Dalam laporan tersebut, Menteri Karding juga menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia telah menyiapkan berbagai langkah untuk memfasilitasi penempatan pekerja migran yang lebih terampil dan terlatih. Salah satunya melalui peningkatan pelatihan keterampilan dan sertifikasi di lembaga-lembaga pendidikan khusus. Karding optimis bahwa dengan upaya tersebut, Indonesia bisa memenuhi target kebutuhan tenaga kerja dunia yang terus berkembang.
Gagas Nusantara juga mengapresiasi upaya pemerintah untuk memperkuat sistem pelatihan tenaga kerja, yang dianggap penting agar tenaga kerja Indonesia bisa bersaing di pasar global. Menurut Romadhon, pelatihan harus dilengkapi dengan standar internasional agar dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas pekerja Indonesia. “Pekerja migran Indonesia harus tidak hanya dipersiapkan secara teknis, tetapi juga dilatih dalam keterampilan komunikasi dan pemahaman tentang budaya kerja negara tujuan,” tambahnya.
Namun, meski dukungan terhadap program ini besar, ada beberapa catatan kritis yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah jumlah penyerapan tenaga kerja migran yang baru mencapai 297 ribu pekerja dari 1,7 juta yang dibutuhkan. Ini menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antara potensi dan kenyataan di lapangan. “Masih ada tantangan besar dalam penyediaan pelatihan yang tepat serta pemenuhan kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan oleh pasar global,” kata Romadhon.
Selain itu, Gagas Nusantara juga mengingatkan tentang tingginya angka pekerja migran non-prosedural yang mencapai sekitar 4,3 juta orang. Angka ini menandakan adanya kekurangan dalam pengawasan dan tata kelola migrasi tenaga kerja yang bisa berisiko pada potensi perdagangan manusia atau eksploitasi pekerja. Oleh karena itu, penguatan sistem legalisasi dan pengawasan ketat terhadap alur penempatan tenaga kerja harus menjadi prioritas.
Untuk itu, Gagas Nusantara mengusulkan agar pemerintah dan sektor swasta dapat bekerja lebih keras dalam mengembangkan sistem pelatihan yang lebih baik dan mengelola proses migrasi secara transparan. Romadhon menekankan bahwa ini tidak hanya soal mempersiapkan pekerja, tetapi juga memastikan mereka bekerja dengan aman dan sesuai dengan hak-hak mereka sebagai pekerja.
Seiring dengan langkah pemerintah untuk membentuk Satgas lintas kementerian, Gagas Nusantara juga berharap agar pendekatan ini dapat lebih terintegrasi. Keberhasilan penempatan tenaga kerja Indonesia tidak hanya terletak pada kuantitas, tetapi juga pada kualitas pekerja yang dikirim ke luar negeri dan kesejahteraan mereka selama bekerja.
“Peluang ini bisa menjadi dorongan besar bagi Indonesia, tetapi kita harus memastikan bahwa tenaga kerja migran Indonesia tidak hanya menjadi obyek, tetapi juga pemain yang unggul di pasar global,” tegas Romadhon, menutup diskusi.
Dengan demikian, meski peluang yang terbuka sangat besar, Gagas Nusantara mengingatkan pemerintah untuk tidak mengabaikan aspek penting dalam pengelolaan migrasi, yakni kesiapan pelatihan yang lebih komprehensif, tata kelola yang transparan, serta perlindungan pekerja migran yang maksimal.