Jakarta (detikj) – Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Dr. Wihaji, S.Ag., M.Pd., menekankan pentingnya peran ayah dalam pola asuh anak sebagai bagian dari strategi pembangunan keluarga nasional. Hal itu disampaikan dalam agenda sosialisasi kebijakan kependudukan dan ketahanan keluarga yang digelar di Jakarta, Kamis (1/5).
Menurut Wihaji, peran ayah dalam keluarga seringkali dipandang sebelah mata dan terpinggirkan oleh konstruksi sosial yang mengidentikkan pengasuhan dengan ibu. Padahal, data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan berdampak langsung pada peningkatan kualitas kesehatan mental dan keberhasilan akademik anak.
“Keluarga adalah unit terkecil dari negara. Ketika ayah hadir secara emosional dan aktif dalam mendampingi anak, itu menciptakan ketahanan keluarga yang sesungguhnya. Kita butuh ayah yang bukan hanya hadir secara fisik, tetapi juga hadir secara batin,” ujar Wihaji.
Menanggapi hal ini, Direktur Gagas Nusantara, Romadhon Jasn, menilai pernyataan Menteri Wihaji sebagai upaya konkret menghadirkan negara dalam urusan domestik secara proporsional. Ia menyebut bahwa selama ini ayah kerap direduksi hanya sebagai pencari nafkah. “Ketika kebijakan sudah mulai menyentuh persoalan relasi emosional dalam rumah tangga, itu pertanda negara mulai berpihak pada pembangunan manusia,” kata Romadhon.
Ia menambahkan bahwa Gagas Nusantara selama ini telah mendorong model pengasuhan berbasis kesetaraan peran. Dalam berbagai pelatihan keluarga yang diselenggarakan di tingkat komunitas, organisasi tersebut aktif melibatkan para ayah dalam diskusi-diskusi pengasuhan. “Kami menghindari istilah ‘bantuan ayah’. Yang dibutuhkan anak adalah kehadiran penuh, bukan sekadar membantu,” jelas Romadhon.
Menteri Wihaji juga mendorong agar pendekatan kebijakan yang ramah ayah diperkuat dalam sistem ketenagakerjaan. Salah satunya adalah melalui kebijakan cuti ayah yang cukup dan aplikatif, agar laki-laki dapat turut serta secara aktif sejak fase awal kehidupan anak. “Ketika anak lahir, peran ayah dimulai bersamaan dengan ibu. Negara perlu menjamin ruang itu,” ujarnya.
Ia juga menyoroti perlunya edukasi berkelanjutan bagi pasangan muda, terutama dalam menanamkan kesadaran peran ganda dalam rumah tangga. Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, kata Wihaji, sedang merancang modul pelatihan pengasuhan yang melibatkan unsur agama, adat, dan budaya lokal agar bisa diterima luas di masyarakat.
Dalam waktu dekat, Kementerian akan menggandeng organisasi masyarakat, termasuk Gagas Nusantara, untuk menyusun peta jalan peran ayah dalam pengasuhan anak. Kerja sama ini diharapkan dapat melahirkan pendekatan yang tidak hanya berbasis kebijakan formal, tetapi juga mengakar dalam praktik sosial di tingkat keluarga.
Romadhon menegaskan bahwa kolaborasi lintas sektor sangat dibutuhkan agar perubahan ini tidak berhenti di wacana. “Anak-anak tumbuh di rumah, bukan di kantor pemerintah. Maka yang perlu dibangun bukan hanya program, tapi kebiasaan baru dalam keluarga,” ujarnya.