Jakarta – Kisruh kebijakan LPG 3 kg kembali memperlihatkan lemahnya koordinasi dalam pemerintahan. Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa larangan pengecer menjual LPG 3 kg bukan kebijakan Presiden Prabowo Subianto, melainkan keputusan Kementerian ESDM. Namun, pernyataan ini justru dibantah oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, yang menegaskan bahwa kebijakan tersebut merupakan perintah langsung dari Presiden Prabowo.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah Dasco berbicara sebagai Wakil Ketua DPR yang menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah, atau justru bertindak seperti juru bicara Presiden?
Ketua Jaringan Aktivis Nusantara (JAN), Romadhon Jasn, menilai bahwa pernyataan Dasco membingungkan publik dan berpotensi melemahkan fungsi pengawasan DPR terhadap eksekutif.
“Sebagai Wakil Ketua DPR, Dasco seharusnya mengawasi kebijakan pemerintah, bukan memberikan klarifikasi yang lebih terdengar seperti pembelaan. DPR itu lembaga legislatif, bukan humas pemerintah,” ujar Romadhon dalam keterangan pers yang diterima, Selasa (4/2).
Menurutnya, jika benar Dasco berbicara sebagai Wakil Ketua DPR, seharusnya ia mempertanyakan mengapa kebijakan yang diterapkan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia justru memperburuk kondisi rakyat kecil. Ia seharusnya meminta penjelasan lebih lanjut terkait kajian kebijakan tersebut dan mengawal agar dampaknya tidak semakin merugikan masyarakat.
“Tugas DPR adalah memastikan pemerintah bekerja untuk rakyat, bukan sekadar jadi perpanjangan tangan eksekutif. Kalau seperti ini, di mana lagi rakyat bisa berharap agar kebijakan yang tidak berpihak bisa dikritisi?” lanjutnya.
Bahlil Lahadalia Juga Harus Dikritik
Di sisi lain, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia juga tidak bisa lepas dari tanggung jawab. Ia menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari perintah Prabowo yang bertujuan untuk memastikan subsidi LPG 3 kg tepat sasaran, berdasarkan kajian yang sudah dilakukan sejak 2023.
Namun, jika kajian ini memang sudah dilakukan sejak 2023, mengapa implementasinya justru menyebabkan kekacauan di lapangan? Mengapa tidak ada mekanisme transisi yang lebih jelas sebelum kebijakan ini diterapkan?
Romadhon menilai, Bahlil gagal memastikan kesiapan di lapangan sebelum menerapkan kebijakan ini, sehingga masyarakat harus menanggung dampaknya.
“Kalau memang sudah dikaji sejak lama, kenapa pemerintah terlihat tidak siap? Kebijakan dibuat tanpa skema yang jelas, dan akhirnya berubah-ubah hanya dalam hitungan hari setelah muncul protes publik. Ini menunjukkan bahwa implementasinya sangat lemah,” tegasnya.
Menurutnya, menteri yang tidak mampu menjalankan kebijakan dengan baik seharusnya dievaluasi, karena kebijakan yang buruk dapat merusak kepercayaan publik terhadap pemerintahan Prabowo.
Presiden Prabowo Harus Mengevaluasi Kabinetnya
Kisruh kebijakan ini menunjukkan bahwa ada persoalan serius dalam komunikasi dan koordinasi di dalam pemerintahan. Presiden Prabowo Subianto perlu segera mengevaluasi kinerja para menterinya, terutama di sektor energi dan ekonomi. Jika perbedaan narasi antara DPR dan Kementerian ESDM terus terjadi, ini bisa menjadi sinyal buruk bagi stabilitas pemerintahan.
“Jika Presiden Prabowo harus turun tangan setiap kali ada kebijakan yang kacau di lapangan, itu artinya ada yang tidak bekerja dengan baik di kabinetnya. Presiden harus tegas mengevaluasi para menteri yang tidak kompeten,” ujar Romadhon.
Menurutnya, jika evaluasi tidak segera dilakukan, bukan hanya Kementerian ESDM yang perlu dikritisi, tetapi juga seluruh tim ekonomi dan energi yang gagal memberikan masukan yang akurat kepada presiden.
DPR Jangan Kehilangan Perannya
DPR tidak boleh menjadi sekadar alat stempel pemerintah. Jika Wakil Ketua DPR lebih sering memberikan klarifikasi seperti juru bicara presiden ketimbang mengkritisi kebijakan yang merugikan rakyat, maka publik semakin sulit mengandalkan DPR sebagai lembaga pengawas yang benar-benar berpihak pada masyarakat.
“Kalau DPR hanya diam atau malah bertindak seolah-olah jadi humas pemerintah, lalu siapa yang mengawasi eksekutif? Jangan sampai rakyat kehilangan harapan pada DPR,” pungkas Romadhon.
Rakyat tidak membutuhkan klarifikasi yang saling bertentangan antara pejabat negara. Yang dibutuhkan adalah solusi nyata dan kebijakan yang jelas tanpa harus berubah-ubah dalam hitungan hari. Jika tren seperti ini terus berlanjut, bukan hanya Menteri ESDM yang harus dievaluasi, tetapi juga fungsi DPR itu sendiri.