Jakarta, – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyegel pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang, Banten, yang selama ini meresahkan nelayan kecil. Langkah tegas ini dilakukan atas instruksi langsung Presiden Prabowo Subianto untuk memastikan pemerintah hadir menjawab keresahan masyarakat pesisir.
“Pagar ini tidak memiliki izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Sesuai arahan Presiden, kami harus bertindak tegas untuk menjaga wibawa pemerintah dan melindungi hak masyarakat,” ujar Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP, Pung Nugroho, saat menyampaikan keterangan di atas Kapal Pengawas Orca, Kamis (9/1).
Jawaban atas Keluhan Nelayan
Instruksi Presiden ini dinilai menjadi angin segar bagi ribuan nelayan yang terdampak langsung akibat keberadaan pagar misterius ini. Menurut Pung, pagar bambu setinggi enam meter tersebut telah menghalangi pergerakan kapal nelayan kecil berkapasitas 2-3 GT.
“Banyak nelayan mengeluh sulit melaut karena akses keluar-masuk tertutup pagar. Mereka bahkan sering menabraknya saat malam hari,” ujarnya. Data menunjukkan bahwa keberadaan pagar ini telah mengganggu aktivitas 3.888 nelayan dan 502 pembudi daya ikan, dengan kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp8 miliar.
Selain mengganggu masyarakat, pagar ini juga berdampak buruk pada ekosistem laut. Struktur pagar yang menggunakan cerucuk bambu dan pemberat pasir merusak habitat pesisir dan mengganggu aliran air laut, yang berpotensi menurunkan produktivitas perikanan.
Waktu 20 Hari untuk Membongkar
Sebagai bagian dari langkah tegas, KKP memberikan waktu 20 hari kepada pihak yang bertanggung jawab untuk membongkar pagar tersebut secara sukarela. Jika tidak ada langkah konkret dari pelaku, KKP akan mengambil tindakan tegas untuk meratakan pagar tersebut.
“Kami ingin memberikan kesempatan kepada pelaku untuk membongkar sendiri, tetapi jika tidak, kami akan ratakan pagar ini. Negara tidak boleh kalah,” tegas Pung.
Kritik: Keterlambatan Respons Pemerintah
Meski langkah penyegelan ini diapresiasi, sejumlah kritik mencuat terkait keterlambatan respons pemerintah. Investigasi awal menunjukkan bahwa pembangunan pagar sudah dimulai sejak Agustus 2024, namun tindakan tegas baru diambil pada Januari 2025, ketika panjangnya mencapai 30,16 kilometer.
Direktur Gagas Nusantara, Romadhon Jasn, menyebutkan bahwa kelemahan pengawasan menjadi penyebab utama masalah ini. “Jika pengawasan berjalan optimal, pagar sepanjang ini tidak mungkin bisa dibangun tanpa izin. Apakah tindakan ini akan diambil jika Presiden tidak turun tangan? Ini pertanyaan yang harus dijawab KKP,” ujarnya, kepada awak media, Jumat, (10/1)
Romadhon juga menyoroti perlunya peningkatan pengawasan proaktif oleh Direktorat Jenderal PSDKP dan PRL. “Kasus ini membuktikan bahwa pengawasan ruang laut belum memadai, baik dari sisi teknologi maupun manajemen,” tegasnya.
Rekomendasi
Gagas Nusantara memberikan beberapa rekomendasi agar kasus serupa tidak terulang:
1. Investigasi Pelaku: KKP harus segera mengidentifikasi pihak yang bertanggung jawab atas pembangunan pagar ini dan menindak tegas sesuai hukum.
2. Pengawasan Proaktif: Perkuat pengawasan berbasis teknologi, seperti drone dan satelit, untuk mendeteksi aktivitas ilegal sejak dini.
3. Penegakan Hukum Tegas: Terapkan sanksi administratif dan pidana kepada pelaku untuk memberikan efek jera.
4. Transparansi: Publikasikan hasil investigasi untuk menjaga kepercayaan publik.
“Penyegelan ini langkah awal yang baik, tetapi sistem pengawasan dan koordinasi lintas instansi harus diperbaiki. Nelayan kecil membutuhkan perlindungan nyata, bukan sekadar respons setelah tekanan publik,” pungkas Romadhon.
Langkah penyegelan ini menjadi bukti keberpihakan Presiden Prabowo pada masyarakat kecil. Namun, pemerintah harus memastikan pengawasan ruang laut berjalan optimal agar kejadian serupa tidak terulang. (Vi/rpt)