DETIKDJAKARTA.COM, JAKARTA –
Ini Sebuah Wacana Lama yang di Angkat Kembali dalam Pemerintahan Yang baru yakni Pemerintahan Prabowo Gibran Pada Tahun 2024, yakni Program Transmigrasi, Yang di Jalankan Melalui Satuan Perangkat Kementrian Kordinator serta Mentri Transmigrasi selaku Pelaksana Teknis Utama. Dan Kemudian ini Menjadi Kontra karena Mendapat Penolakan secara Merata Oleh Masyarakat Papua juga khususnya Para Pemilik Wilayah Adat di Tanah Papua.
Ada satu hal Yang kami catat dan ingat baik sekali, bahwa sejak Program Transmigrasi ini di Gulirkan Erah Orde baru, sesungguhnya ini adalah Program Lanjutan yang di Wariskan Oleh Pemerintahan Kolonial Belanda pada Erah 1905, sebagai Program rintisan, oleh Asisten Residen Sukabumi, H.G Heyting turut Memberangkatkan sebanyak 155 Kepala Keluarga Asal Jawa ke Godong Taan Lampung. selanjutnya Dalam Perkembangan Pemerintahan berjalan di Erah Presiden SOHARTO, Program ini di tetapkan dalam Pembangunan berjangka yaitu Repelita I dan Repelita II Oleh Pemerintahan Orde baru waktu itu, tercatat sebanyak 41.701 transmigran Yang terbagi Menjadi 9.916 Kepala Keluarga ( KK)hlm119), dan Pada Repelita IV, yang di mulai Sejak Tahun 1984, Jumlah tersebut Melompat menjadi 137.800 Kepala Keluarga.
Sebagian besar transmigrasi didatangkan dari Etnis Jawa, Buton, Bugis. Dan Untuk Menghidupi Arus Urbanisasi buatan Pemerintah ini, maka harus mengorbankan Pembukaan Lahan seluas 6899.000 hektar. (Baca juga buku tulisan Sabam Siagian tentang “Kenangan – Kenagan Alimoertopo” _sekar _Semerbak_ ‘ (1985, hal 157).
Alkisah transmigrasi ini kemudian memunculkan riak riak protes politik, yang kemudian di tanggapi positif oleh Sejumlah Akademisi dari P3PK Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Lembaga Pendidikan Perkebunan Jogjakarta.
Hari ini Masyarakat Papua masih Menolak Hal yang sama, Karena dapat di Catat bahwa Pemerintah Pusat Belum Menunjukan Seberapa Besar Keberhasilan khusus Program Trasmigrasi Lokal, ( Translok), Yang di Jalankan Oleh Pemerintah?, Karena Konsep Transmigrasi Nasional yang Kemudian di rubah Polahnya menjadi Transmigrasi Lokal, dan Perna dilakukan hingga saat ini Juga Tidak Membuahkan Hasil bagi Penduduk Asli Papua, tampa ada Evaluasi Total atas Program dimaksud. Yang terjadi adalah Kecemburuan Sosial atas Disparitas Pendapatan Perkapita antara Penduduk Trasmigrasi Imigran dan Penduduk Lokal, serta Sumber – sumber Daya Alam setempat jadi rusak, Misalnya Kasus Pada Transmigransi di Topo dan Lagari Kabupaten Nabire Propinsi Papua Tengah.
Saya Melihat Hal – hal Pokok terkait Isu Kontra Program Transmigrasi, yg di Galakan Pemerintah Pusat :
1. Konsep Libatkan Penduduk Lokal, Pada 10 titik Kawasan di Tanah Papua.
2. Substansi Konsepnya masih Tdk Jelas atau Kabur dlm Pendekatan Pemberantasan Kemiskinan bagi OAP
3. Belum Ada Gambaran dlm Pendekatan Kepemilikan Hak Ulayat Adat, ini soal Sejauh Mana Keterlibatan Pemilik – pemilik Tanah Adat, Karena Jika sala Kelola Maka Muncul Potensi Konflik Sosial Yang Berkepanjangan, sebab terkait Tanah dan Hutan Setempat,
4. Program Revitalisasi pada Empat Wilaya Yang sdh Masuk RPJMN ini juga masih Kabur di tengah Masyarakat, Karena Apanya Yang mau di Revitisasi, ini harus lebih Fokus pada Leading Sektoral dan Sistem Tataniaga Economi antar Wilayah, lebih Menolong masyarakat Setempat,
5. Perlu Penerapan Program Life Skill bagi Penduduk Lokal terutama OAP dan hal ini Sangat Penting.
Dalam siaran Pers kata Mentri Transmigrasi pada tgl 7 November 2024 Melalui Liputan6.com bahwa “Kepemimpinan Yang baik dapat terbangun Melalui Hubungan Yang Harmonis Antar Pemimpin dan Yang di Pimpin”,. Pada poit itu kami Mengartikan bahwa Dalam Pemerintahan ini Ada Pemimpin Pemimpin Negara dan Institusi Kementrian sampai pada Level Pemerintah Propinsi dan Kabupaten Kota, TETAPI Perlu kami Ingatkan dan memberi pembobotan Juga bahwa Dalam Tatanan Sosial Masyarakat Adat, Ada Pemimpin Adat Yang Memimpin Masyarakat Adat, termasuk di PAPUA Secara Khusus, dan Masyarakat Adat ini Memiliki Hak Kepemilikan Adat Secara Komunal Yang di Wariskan Turun temurun dalam regenerasi dan itu Menjadi Lagenda Pusaka, termasuk titik titik Wilayah Sakral yang di lestarikan secara Abadi. Sehingga Pemerintah Pusat Juga Perlu Mempertimbangkan Aspek dimaksud, agar Pendekatan sosicultur secara Antropologis dapat berjalan, Karena Asas Manfaat bagi Masyarakat Asli Papua terutama Pemilik Ulayat menjadi Pertimbangan tersendiri secara Positif, Apa yang akan mereka dapat dari sisi Economi, akankah Mempengaruhi Pendapatan Perkapita Pemilik Ulayat ini?, Secara Budaya, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tepat Guna dan lainnya (Transfer Knowledge).
Semua ini harus di Kaji lebih Mendalam sehingga pada lain sisih juga tidak bersilang pandang dengan Urusan Hutan sebagai Lingkungan Hidup yang Kemudian Memberi asas Manfaat dalam Sumbangan CO2 bagi Kehidupan Populasi Dunia Dalam Isu Global Warming, akibat Membuka Lahan Pemukiman baru yang berdampak Perusakan Hutan.
( Benyamin Wayangkau, Sekretaris Aliansi Papua Maju )