Jakarta, detikj – Instruksi Menteri Investasi Bahlil Lahadalia agar Pertamina “ikut arahan pemerintah” dalam skema impor minyak mentah dan BBM dari Amerika Serikat sekaligus menegaskan perlunya payung hukum sebelum eksekusi. Direktur Utama Pertamina Simon Aloysius Mantiri menyatakan tanpa Perpres atau Permen ESDM, kontrak G‑to‑G maupun B‑to‑B sulit dijalankan.
Simon menyoroti sejumlah risiko teknis. Volatilitas harga shale oil AS dapat berfluktuasi dua digit persen per bulan sehingga landed cost bisa melonjak tanpa prediksi. Sebelum mengeksekusi impor AS, Pertamina juga mempertimbangkan lima aspek utama: payung hukum formal, kapasitas dan kesiapan kilang, kualitas crude (API gravity & sulfur), landed cost dan efisiensi logistik, serta risiko fluktuasi harga. Proses blending ekstra dan waktu pengiriman rata‑rata empat puluh hari menambah kerumitan.
“Mandat moral pemerintah harus diikuti, namun kami tidak menutup mata terhadap kendala teknis,” ujar Romadhon Jasn, Direktur Gagas Nusantara, di Jakarta, Sabtu (24/5/2025).
Ia mengusulkan optimalisasi Forum Koordinasi Teknis ESDM–Pertamina di bawah Sekretariat Kerjasama Energi. “Forum ini sudah ada, cukup diperkuat dengan agenda triwulanan dan notulen yang dipublikasikan,” tutur Romadhon.
Menteri Bahlil menegaskan diversifikasi pasokan adalah langkah strategis untuk meredam gejolak pasar global dan menutup defisit kapasitas kilang domestik. “Kita sudah rutin impor LPG dari AS—sekitar 59 persen konsumsi nasional—tanpa hambatan berarti. Implikasinya, tidak ada alasan menunda diversifikasi,” katanya, menekankan mandat moral bagi Pertamina.
Romadhon menilai instruksi Bahlil cukup tegas, namun payung hukum formal harus segera dirampungkan. “Perpres atau Permen ESDM tentang impor migas AS diperlukan agar kewajiban moral berubah menjadi kepastian hukum. Tanpa regulasi itu, kerangka operasional dan jaminan kreditur terancam,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, volume impor minyak mentah Indonesia turun sekitar lima persen pada 2024, sementara impor produk migas melonjak hampir 35 persen (BPS 2024). Porsi shale oil AS masih di bawah lima persen dari total impor mentah, sedangkan produk turunannya mencapai lebih dari setengah impor produk.
Sejalan dengan itu, Romadhon menyarankan penguatan mekanisme hedging dan kontrak multitahun. “Pertamina perlu menegosiasikan futures dan options untuk menahan volatilitas di bawah tiga persen per bulan,” kata Romadhon, mengutip rekomendasi Dr. Martina Suryani dari LPEM FEB UI dan laporan Reuters.
Kelompok industri memperingatkan potensi gangguan pasokan yang berdampak pada biaya produksi. Ketua Kadin Migas Rudi Santoso mencontohkan lonjakan harga avtur hingga 15 persen pada awal tahun akibat keterlambatan kapal tanker, yang menurutnya dapat menurunkan daya saing ekspor.
Romadhon juga menekankan pentingnya transparansi kontrak dan jejak karbon. “Setiap volume, harga, dan emisi upstream shale oil harus dilaporkan, dengan verifikasi oleh IESR dan KLHK, agar kebijakan ini selaras dengan target net‑zero emission 2060,” ujarnya.
Dengan instruksi pemerintah yang kini tegas dan payung hukum yang segera hadir, Romadhon menegaskan impor shale oil AS harus diposisikan sebagai opsi pelengkap, bukan solusi tunggal. “Sinergi mitigasi risiko teknis dan arahan strategis, didukung regulasi dan forum koordinasi, akan memastikan ketahanan energi, stabilitas harga, percepatan hilirisasi migas, serta transisi energi berkelanjutan,” tutupnya.