Detikdjakarta.com, Unaaha – Seorang nasabah PT Nusantara Surya Sakti (NSS), Feri Risaldin, mengeluhkan tindakan oknum penagih utang (debt collector) perusahaan tersebut yang diduga melakukan intimidasi dan ancaman terkait keterlambatan pembayaran cicilan motor Honda selama tiga bulan. Tidak hanya dirinya, sang kakak juga menjadi sasaran tekanan dari pihak penagih.
Menurut Feri, oknum debt collector tersebut menghubunginya melalui voice note WhatsApp dengan nada kasar dan intimidatif. Salah satu kata yang digunakan adalah “MOLINGGU,” yang dalam bahasa Tolaki memiliki arti negatif, yakni lari dari utang.
Lebih dari itu, pihak penagih juga mengancam akan menarik paksa kendaraan dengan melibatkan organisasi masyarakat (ormas).
“Saya merasa tertekan dan tidak nyaman. Saya memang sedang mengalami kendala keuangan karena ditempat saya kerja mengalami keterlambatan pembayaran upah, tapi bukan berarti saya berniat melarikan diri dari kewajiban. Saya hanya butuh waktu untuk menyelesaikan masalah ini,” ujar Feri Risaldin kepada media ini. Jum’at, (28/3/2025).
Lebih lanjut, ia juga mempertanyakan prosedur yang digunakan oleh pihak NSS dalam melakukan penagihan.
“Saya kira ada aturan yang harus dipatuhi. Kalau memang ada keterlambatan, seharusnya ada pendekatan yang lebih manusiawi, bukan dengan ancaman atau melibatkan pihak di luar perusahaan,” tambahnya.
Bukan hanya itu, kata Feri Risaldin, Oknum penagih juga mengaku dirinya adalah mantan wartawan.
Dasar Hukum yang Melindungi Konsumen
Tindakan yang dilakukan oleh oknum debt collector ini berpotensi melanggar sejumlah regulasi hukum yang berlaku di Indonesia, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
– Pasal 4 mengatur hak-hak konsumen, termasuk hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan barang dan jasa.
– Pasal 17 melarang pelaku usaha melakukan penagihan dengan cara ancaman, kekerasan, atau tindakan lain yang bersifat intimidatif.
2. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan
– Pasal 48 ayat (2) menyebutkan bahwa penagihan terhadap debitur harus dilakukan dengan cara yang beretika, tidak boleh menggunakan ancaman atau kekerasan.
– Pasal 50 menyatakan bahwa pengambilalihan kendaraan bermotor hanya dapat dilakukan jika terdapat persetujuan dari debitur atau melalui putusan pengadilan.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
– Pasal 368 KUHP mengatur tentang pemerasan dan ancaman dengan kekerasan yang dapat dikenai sanksi pidana.
Atas dasar hukum tersebut, Feri Risaldin meminta agar pihak NSS bertanggung jawab atas tindakan oknum debt collector yang meresahkan. Ia berharap ada perbaikan dalam sistem penagihan agar tidak ada lagi nasabah yang mengalami intimidasi serupa.
“Saya berharap ada kejelasan dan keadilan. Jika memang ada aturan soal penarikan kendaraan, jalankan sesuai prosedur hukum, bukan dengan ancaman atau tekanan yang merugikan konsumen,” pungkasnya.
Sampai berita ini diturunkan, pimpinan NSS belum memberikan klarifikasi terkait dugaan intimidasi yang dilakukan oleh oknum penagih utangnya.