JAKARTA (DETIKDJAKARTA.COM) –
Kisah Marsinah selalu terasa seperti bara kecil yang tak kunjung padam. Ada sesuatu pada dirinya—seorang buruh perempuan dari Nganjuk—yang menjadikan jejak hidupnya bukan sekadar catatan sejarah, melainkan cermin betapa kerentanan bisa berubah menjadi ketegasan moral. Ketika negara kemudian menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya, penghargaan itu tak berdiri sebagai seremoni, melainkan sebagai pengakuan terhadap sebuah luka panjang yang akhirnya memperoleh bahasa.
Marsinah lahir di tengah lanskap sosial yang sering tak ramah pada suara-suara kecil. Ia bekerja di sebuah pabrik arloji di Porong, dan di sanalah ia mulai merasakan ketidakadilan yang begitu nyata: upah buruh rendah, jam kerja melelahkan, dan keberanian untuk memprotes dianggap ancaman. Di titik itu, ia bukan figur besar—ia hanya seorang buruh yang membaca, memperhatikan, dan menimbang. Tetapi dari tindakan-tindakan kecil itulah lahir sebuah keberanian struktural: keberanian untuk menuntut yang seharusnya wajar.
Ketika ia bersama rekan-rekannya memperjuangkan hak normatif buruh, ia tidak bersikap seperti pahlawan dalam kisah epik. Ia lebih mirip percikan api yang menyala karena gesekan keras realitas. Marsinah tahu konsekuensinya, tetapi ia tetap melangkah, seolah prinsip keadilan telah menjadi satu-satunya bahasa yang ia bisa terima.
Lalu datanglah tragedi itu—penculikan, kekerasan, dan kematiannya yang memecah rasa kemanusiaan siapa pun yang mendengarnya. Kasus itu menjadi salah satu potret paling gelap dalam sejarah hubungan negara dan warganya. Tidak ada yang benar-benar siap menghadapi betapa dinginnya kenyataan bahwa seseorang bisa dibunuh hanya karena ia tidak bersedia diam.
Anugerah Pahlawan Nasional kepada Marsinah bukanlah penutupan kisah; itu lebih tepat disebut pembukaan ulang memori kolektif. Negara, dengan gelar itu, akhirnya menempatkan dirinya pada posisi reflektif: mengakui bahwa keadilan sosial tidak lahir dari amplop kebijakan, melainkan dari keberanian manusia biasa yang berani mengatakan “tidak”. Pengakuan ini menggeser Marsinah dari ruang aktivisme buruh ke ruang kesadaran bangsa—bahwa demokrasi tanpa perlindungan bagi pekerja adalah tubuh tanpa tulang belakang.
Yang menarik dari penghargaan ini bukan sekadar pengesahan formal, tetapi resonansi moralnya. Kehadirannya mengundang kita membayangkan kembali dunia kerja, relasi kuasa, dan tubuh-tubuh manusia yang menghidupi industri. Marsinah bukan simbol perlawanan yang beku; ia adalah tanda bahwa suara kecil yang jujur dapat menggetarkan mesin besar yang biasanya tak peduli.
Dengan gelar Pahlawan Nasional, Marsinah kembali ke ruang publik dalam rupa yang utuh: seorang perempuan muda yang bersuara sederhana, tetapi prinsipnya keras kepala. Ia tidak memimpin ribuan orang, tidak mengibarkan panji revolusi; justru karena itu ia begitu membekas. Kepahlawanan tidak selalu ditentukan oleh skala tindakan, melainkan oleh keteguhan dalam menghadapi ketidakadilan ketika tak ada perlindungan apa pun.
Penganugerahan ini, pada akhirnya, mengajak kita untuk bercermin: sejauh apa bangsa ini bersedia belajar dari keberanian seorang buruh perempuan yang menolak tunduk? Jawabannya tidak selesai hari ini. Marsinah telah memberi kita sebuah poros moral; tugas kita adalah menjaga supaya poros itu tidak kembali patah oleh kelalaian kolektif.
Narasi tentang Marsinah akan selalu bergerak, sebagaimana gelombang kecil yang tak berhenti memukul tepi pantai. Dari situ lahir ingatan, dan dari ingatan lahir kewaspadaan.


















