Jakarta – Direktur Forum Pemerhati Kebijakan Publik (FORMATIK), Ahmad Latupono, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang Kapolri menugaskan anggotanya menduduki jabatan sipil sebagai langkah yang tidak proporsional dan berpotensi menimbulkan kebingungan dalam tata kelola pemerintahan.
Ahmad Latupono menambahkan, MK seharusnya memahami bahwa Polri adalah lembaga sipil sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, Polri disebut sebagai alat negara yang berfungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan bagian dari militer. Karena itu, membatasi anggota Polri untuk menduduki jabatan sipil dianggap sebagai bentuk penyempitan makna terhadap kedudukan Polri sebagai lembaga sipil negara.
“Putusan MK ini terkesan mencampuradukkan antara kepolisian dan militer. Padahal jelas, Polri adalah institusi sipil. Jadi ketika ada penugasan di lembaga sipil, itu bukan bentuk pelanggaran, melainkan bagian dari fungsi dan kapasitas profesional yang dimiliki aparat kepolisian,” ujar Ahmad Latupono dalam keterangannya, Jumat (14/11/25).
Ahmad Latupono menerangkan, banyak jabatan di kementerian dan lembaga negara yang membutuhkan disiplin, keahlian, dan pengalaman dari anggota Polri, terutama dalam bidang keamanan, penegakan hukum, dan manajemen publik. Penugasan anggota Polri di lembaga sipil seharusnya dilihat sebagai kontribusi positif, bukan pelanggaran hukum.
Ia juga menyoroti bahwa Undang-Undang Polri tidak pernah secara eksplisit melarang anggota kepolisian untuk menjalankan tugas di luar struktur organisasi Polri, selama tidak berkaitan dengan jabatan politik. “Yang dilarang adalah jabatan politik seperti kepala daerah, anggota DPR, atau menteri. Tapi kalau jabatan struktural administratif di lembaga negara, undang-undang tidak melarang. Justru di situ semangat sinergi antar-lembaga berjalan,” tegasnya.
Ahmad Latupono menilai, putusan MK tersebut bisa menimbulkan kesalahpahaman publik dan bahkan menghambat proses integrasi kebijakan nasional di sektor-sektor strategis yang membutuhkan koordinasi antara Polri dan lembaga sipil lainnya. Ia mendorong agar DPR dan pemerintah segera melakukan sinkronisasi peraturan untuk memastikan tidak terjadi tumpang tindih penafsiran hukum.
“Kami berharap pemerintah dan DPR segera duduk bersama untuk menafsirkan kembali batasan itu secara proporsional. Jangan sampai putusan MK justru melemahkan fungsi Polri sebagai lembaga sipil yang fleksibel, adaptif, dan mampu berkontribusi lintas sektor,” pungkasnya.


















