JAKARTA – Fenomena “Lapor Pak Menteri” mendadak menjamur. Setelah “Lapor Pak Purbaya” yang sempat viral, kini muncul “Lapor Pak Amran” di Kementerian Pertanian. Sekilas tampak keren seolah pemerintah makin terbuka terhadap suara rakyat. Tapi di balik ramainya slogan, publik mulai bertanya: apa yang sebenarnya sedang dibangun pelayanan publik yang kuat, atau panggung pribadi para pejabat yang haus eksposur?
Kanal pengaduan publik sejatinya sudah lama ada. Indonesia memiliki sistem LAPOR! nasional di bawah Kantor Staf Presiden, lengkap dengan mekanisme pelacakan dan tindak lanjut. Setiap kementerian juga memiliki unit pengelola laporan masyarakat. Maka, ketika muncul versi “Lapor Pak Menteri”, aroma tumpang tindih pun menyeruak. Ini bukan inovasi, tapi duplikasi yang berpotensi membuat birokrasi berjalan di dua kaki yang saling menginjak.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka jelas menekankan efisiensi, disiplin, dan kesatuan komando. Dalam visi mereka, setiap lembaga harus saling memperkuat, bukan bersaing dalam pencitraan. Maka wajar bila publik curiga: mengapa tiba-tiba muncul tren baru berbasis nama pejabat? Apakah sistem resmi tak berfungsi, atau justru ada hasrat lain keinginan tampil populer di mata publik digital?
Fenomena ini adalah gejala politik ganjen, istilah halus untuk menggambarkan pejabat yang gatal ingin disorot kamera. Mereka bukan tak bekerja, tapi sering salah arah: sibuk tampil, lupa memperkuat sistem. Birokrasi semestinya kokoh, bukan genit. Pemerintah butuh struktur yang solid, bukan menteri yang berlomba membuat kanal “Lapor” dengan nama masing-masing. “Fenomena ini seperti festival pejabat tampil di atas panggung pelayanan publik,” ujar Romadhon Jasn, dari pemerhati kebijakan publik, Sabtu (1/11).
Prabowo tentu tidak mendorong gaya semacam itu. Dalam setiap rapat kabinet, ia menekankan loyalitas terhadap sistem, bukan terhadap citra pribadi. Jika setiap kementerian ingin punya merek komunikasi sendiri, pemerintah justru kehilangan integrasi. Rakyat akan bingung ke mana harus mengadu, karena semua pintu diberi nama yang berbeda. “Birokrasi itu bukan panggung individual, tapi mesin kolektif yang harus berlari serempak,” tambah Romadhon Jasn.
Di lapangan, rakyat memang ingin cepat mendapat respons, tapi mereka juga paham: masalah tak selesai dengan slogan “Lapor Pak.” Masyarakat tidak butuh konten video pejabat membuka DM; mereka ingin laporan ditindaklanjuti, bukan ditampilkan. Kanal tanpa sistem hanya menambah kebisingan digital. Dalam logika publik, lapor seharusnya berarti “masalah selesai,” bukan “berita muncul.”
Jika semua kementerian ikut-ikutan, bisa dibayangkan bagaimana wajah birokrasi Indonesia: penuh spanduk “Lapor” dengan nama berbeda, tapi tak ada integrasi data. Bayangkan pula jika lembaga daerah dan BUMN ikut terjangkit. Bukannya transparan, malah jadi ajang unjuk muka. Pejabat berlomba bukan dalam kinerja, tapi dalam viralitas. “Ketika pelayanan berubah jadi konten, yang melayani dan dilayani sama-sama kehilangan arah,” kata Romadhon Jasn.
Publik sebenarnya tidak anti keterbukaan. Mereka hanya ingin negara tampil dewasa: cukup terbuka, tapi tidak genit; cepat tanggap, tapi tidak bising. Dalam pemerintahan yang sehat, sistem berjalan, bukan slogan yang berlari. Jika setiap kebijakan dikemas seperti kampanye pribadi, maka pelan-pelan makna pengabdian berubah menjadi pertunjukan.
Pejabat yang sibuk mencari panggung adalah tanda bahwa sistem belum dipercaya bekerja sendiri. Ini alarm yang perlu dibaca serius oleh pemerintah. Karena jika struktur lemah, yang tampil ke depan selalu figur, bukan institusi. Padahal Presiden Prabowo tengah membangun era baru tata kelola — menata dari sistem, bukan dari sorotan. “Reformasi birokrasi bukan soal siapa yang paling sering disorot, tapi siapa yang paling disiplin menegakkan sistem,” tutur Romadhon.
Negara ini tak butuh lebih banyak akun “Lapor”, tapi lebih banyak keputusan yang cepat dan adil. Rakyat menilai bukan dari berapa banyak pejabat membalas pesan, tapi dari berapa banyak masalah yang benar-benar selesai. Bukan kesan kerja yang dibutuhkan, melainkan kerja itu sendiri.
“Jika ingin tampil, tampilkan hasil kerja, bukan wajah di layar. Pejabat yang ganjen sebaiknya belajar menunduk di depan rakyat, bukan menatap kamera. Rakyat tidak menuntut pejabat viral, mereka hanya ingin kebijakan yang berpihak dan masalah yang selesai. Karena bangsa ini tidak dibangun dari sorotan cahaya, tapi dari kejujuran, ketulusan, dan disiplin orang-orang yang bekerja diam-diam demi Indonesia yang tenteram dan bermartabat,” tutup Romadhon Jasn.


















