Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Iklan 728x250
APOLEKSOSBUD

Fenomena Demam ‘Lapor Pak Menteri’: Ketika Birokrasi Mulai Gatal Cari Sorotan

162
×

Fenomena Demam ‘Lapor Pak Menteri’: Ketika Birokrasi Mulai Gatal Cari Sorotan

Sebarkan artikel ini
Iklan 468x60

JAKARTA – Fenomena “Lapor Pak Menteri” mendadak menjamur. Setelah “Lapor Pak Purbaya” yang sempat viral, kini muncul “Lapor Pak Amran” di Kementerian Pertanian. Sekilas tampak keren seolah pemerintah makin terbuka terhadap suara rakyat. Tapi di balik ramainya slogan, publik mulai bertanya: apa yang sebenarnya sedang dibangun pelayanan publik yang kuat, atau panggung pribadi para pejabat yang haus eksposur?

Kanal pengaduan publik sejatinya sudah lama ada. Indonesia memiliki sistem LAPOR! nasional di bawah Kantor Staf Presiden, lengkap dengan mekanisme pelacakan dan tindak lanjut. Setiap kementerian juga memiliki unit pengelola laporan masyarakat. Maka, ketika muncul versi “Lapor Pak Menteri”, aroma tumpang tindih pun menyeruak. Ini bukan inovasi, tapi duplikasi yang berpotensi membuat birokrasi berjalan di dua kaki yang saling menginjak.

Iklan 300x600

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka jelas menekankan efisiensi, disiplin, dan kesatuan komando. Dalam visi mereka, setiap lembaga harus saling memperkuat, bukan bersaing dalam pencitraan. Maka wajar bila publik curiga: mengapa tiba-tiba muncul tren baru berbasis nama pejabat? Apakah sistem resmi tak berfungsi, atau justru ada hasrat lain keinginan tampil populer di mata publik digital?

Baca Juga :  Rian Nasaru SH, Meminta Hakim MK Membatalkan Kemenangan Terkait Money Politic di Kab. Gorontalo

Fenomena ini adalah gejala politik ganjen, istilah halus untuk menggambarkan pejabat yang gatal ingin disorot kamera. Mereka bukan tak bekerja, tapi sering salah arah: sibuk tampil, lupa memperkuat sistem. Birokrasi semestinya kokoh, bukan genit. Pemerintah butuh struktur yang solid, bukan menteri yang berlomba membuat kanal “Lapor” dengan nama masing-masing. “Fenomena ini seperti festival pejabat tampil di atas panggung pelayanan publik,” ujar Romadhon Jasn, dari pemerhati kebijakan publik, Sabtu (1/11).

Prabowo tentu tidak mendorong gaya semacam itu. Dalam setiap rapat kabinet, ia menekankan loyalitas terhadap sistem, bukan terhadap citra pribadi. Jika setiap kementerian ingin punya merek komunikasi sendiri, pemerintah justru kehilangan integrasi. Rakyat akan bingung ke mana harus mengadu, karena semua pintu diberi nama yang berbeda. “Birokrasi itu bukan panggung individual, tapi mesin kolektif yang harus berlari serempak,” tambah Romadhon Jasn.

Di lapangan, rakyat memang ingin cepat mendapat respons, tapi mereka juga paham: masalah tak selesai dengan slogan “Lapor Pak.” Masyarakat tidak butuh konten video pejabat membuka DM; mereka ingin laporan ditindaklanjuti, bukan ditampilkan. Kanal tanpa sistem hanya menambah kebisingan digital. Dalam logika publik, lapor seharusnya berarti “masalah selesai,” bukan “berita muncul.”

Jika semua kementerian ikut-ikutan, bisa dibayangkan bagaimana wajah birokrasi Indonesia: penuh spanduk “Lapor” dengan nama berbeda, tapi tak ada integrasi data. Bayangkan pula jika lembaga daerah dan BUMN ikut terjangkit. Bukannya transparan, malah jadi ajang unjuk muka. Pejabat berlomba bukan dalam kinerja, tapi dalam viralitas. “Ketika pelayanan berubah jadi konten, yang melayani dan dilayani sama-sama kehilangan arah,” kata Romadhon Jasn.

Baca Juga :  Memindah Napi Narkoba ke Nusakambangan: Solusi Overkapasitas atau Tantangan Baru?

Publik sebenarnya tidak anti keterbukaan. Mereka hanya ingin negara tampil dewasa: cukup terbuka, tapi tidak genit; cepat tanggap, tapi tidak bising. Dalam pemerintahan yang sehat, sistem berjalan, bukan slogan yang berlari. Jika setiap kebijakan dikemas seperti kampanye pribadi, maka pelan-pelan makna pengabdian berubah menjadi pertunjukan.

Pejabat yang sibuk mencari panggung adalah tanda bahwa sistem belum dipercaya bekerja sendiri. Ini alarm yang perlu dibaca serius oleh pemerintah. Karena jika struktur lemah, yang tampil ke depan selalu figur, bukan institusi. Padahal Presiden Prabowo tengah membangun era baru tata kelola — menata dari sistem, bukan dari sorotan. “Reformasi birokrasi bukan soal siapa yang paling sering disorot, tapi siapa yang paling disiplin menegakkan sistem,” tutur Romadhon.

Baca Juga :  Pertamax Murah Guncang Lebaran: Pertamina Bikin Mudik 2025 Penuh Kejutan!

Negara ini tak butuh lebih banyak akun “Lapor”, tapi lebih banyak keputusan yang cepat dan adil. Rakyat menilai bukan dari berapa banyak pejabat membalas pesan, tapi dari berapa banyak masalah yang benar-benar selesai. Bukan kesan kerja yang dibutuhkan, melainkan kerja itu sendiri.

“Jika ingin tampil, tampilkan hasil kerja, bukan wajah di layar. Pejabat yang ganjen sebaiknya belajar menunduk di depan rakyat, bukan menatap kamera. Rakyat tidak menuntut pejabat viral, mereka hanya ingin kebijakan yang berpihak dan masalah yang selesai. Karena bangsa ini tidak dibangun dari sorotan cahaya, tapi dari kejujuran, ketulusan, dan disiplin orang-orang yang bekerja diam-diam demi Indonesia yang tenteram dan bermartabat,” tutup Romadhon Jasn.

CATATAN REDAKSI

Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau
keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email:
detikdjakartaofficial@gmail.com.
_______________________

Iklan 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!